Jumat, 09 Mei 2008

asrti kehidupan

i ni adalah sebuah tulisan to.............

Book Review



Book Review


INTELEKTUAL PESANTREN, PERHELATAN AGAMA DAN TRADISI

(Pemahaman Atas Pemikiran Abdurrahman Mas'ud)


Oleh : Imam Subehi, S.Ag.



Judul Buku : Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi

Penulis : Dr. Abdurrahman Mas’ud, MA.

Penerbit : LKiS Yogyakarta

Tahun : 2004

Jml halaman : 263



Pendahuluan

Ketika pendidikan modern menjadi penting dalam kehidupan masyarakat modern, dan tidak hanya para pelajar yang potensial memiliki kesempatan untuk mengikuti studi lanjutan (tinggi), maka model pendidikan pesantren menjadi relevan untuk masa sekarang. Kemudahan akses yang diberikan para kiai dan pesantrennya membuat keterlibatan dari semua lapisan masyarakat menjadi mungkin, termasuk pendaftaran di dalam fasilitas pendidikannya. Sekarang adalah menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat untuk menyediakan atmosfer pendidikan yang lebih kondusif, dan pesantren dapat memberikan akomodasi yang lebih besar bagi para penuntut ilmu pengetahuan tanpa hambatan biaya dan birokrasi. Sesungguhnya pesantren dapat memainkan peran yang lebih sentral dalam mewujudkan wajib belajar pendidikan tinggi di Indonesia sekarang ini.i

Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.ii Pengertian secara terminologi di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Jadi secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman tetapi juga makna keaslian Indonesia atau indigenous.

Menurut Mas’ud, ide "pelestarian budaya" yang berkembang dalam komunitas santri adalah suatu kenyataan yang benar meskipun para sarjana selama ini bersikap acuh tak acuh. Pelestarian budaya lokal merupakan salah satu ciri menonjol dari budaya pesantren dan bahkan selama ini tidak memperoleh apresiasi. Bahwa komunitas ini berada di garis depan untuk menjaga pendekatan tersebut dapat dilihat sejak masa Walisongo hingga sekarang. Ide "pelestarian budaya" ini juga telah terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Pelajaran yang ditawarkan berupa literatur yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, dan langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kiai.

Sejauh ini, kebanyakan para penulis Islam Indonesia bukanlah para sarjana studi Islam di mana mereka misleading dalam menilai peran dan fungsi-fungsi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa. Kiai dengan teologi Asy'arinya yang dominan dipandang sebagai "figur primitif dan pasif". Pandangan tersebut dikoreksi oleh Snouck Hurgronje yang dikutip oleh Abdurrahman Mas'ud bahwa Islam Indonesia, yang tampaknya begitu statis, begitu terbenam dalam kelambanan abad pertengahan, mengalami perubahan yang fundamental, namun perubahan-perubahan tersebut terjadi sedemikian bertahap, begitu halus, terkonsentrasi di tempat-tempat terpencil, dan tidak terlintas dalam benak non-Muslim, hingga meskipun perubahan-perubahan itu terjadi di depan mata tetapi terabaikan oleh para sarjana yang tidak cermat dalam mengkaji masalah ini.

Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah kaum Muslimin Indonesia melebihi keseluruhan populasi Muslim negara-negara Arab, namun Islam di Nusantara (Indonesia) ini merupakan lapangan penelitian dan kajian yang terabaikan oleh para islamisis (Islamicist). Pengabaian tersebut bahkan lebih serius terjadi pada dunia pendidikan Islam di Jawa.

Meskipun kaum Muslimin Indonesia melebihi jumlah keseluruhan populasi Muslim negara – negara Arab sebagaimana disebutkan di atas, Islam Indonesia merupakan lapangan studi yang sangat diabaikan. Khususnya untuk alasan yang tidak jelas, isu-isu pada abad XIX sejauh ini juga diabaikan oleh para ahli studi Indonesian (Indonesianist). Dalam kenyataannya, periode ini sangat krusial, tetapi hanya terdapat sedikit riset bertaraf internasional yang relevan. Hanya terdapat dua karya yang relevan, baik yang ditulis oleh para sarjana Belanda, Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of 19th Century (Leiden: Brill, 1931) dan Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), yang memberikan gambaran umum tentang Islam pada abad XIX di Indonesia.

Kurangnya riset tersebut, baik dilakukan oleh sarjana Barat maupun Indonesia, lebih tampak pada lapangan pendidikan. Dalam konteks ini memahami proses penyebaran ilmu pengetahuan tentu menjadi lebih signifikan dalam hubungannya dengan kajian Islam di Indonesia. Karena Jawa terletak pada posisi pinggiran di dunia Muslim, muncul suatu tendensi di kalangan Islamicist untuk meninggalkannya dalam setiap diskusi tentang Islam. Lebih dari itu, ada asumsi bahwa wilayah ini tidak memiliki pusat tradisi Islam yang kokoh. Islam di Jawa selama ini dinilai sebagai sinkretik atau Impure Islam alias Islam campuran yang terkontaminasi, berbeda dengan Islam di pusat-pusat Islam Timur Tengah, dan banyak dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal. Penilaian tersebut layak untuk diuji kembali dengan pertimbangan bahwa keberagaman sinkretisme tidak dapat dihindari tetapi masih dapat dibusordinasikan pada ajaran dasar (h. 8-9)

Kurangnya riset tentang topik ini yang begitu terbatas, dan juga adanya pendekatan yang kurang tepat dalam studi ini, misalnya studi terpenting Geertz mengenai Islam, The Religion of Java, ditulis pada tahun 1960-an, dan sering dijadikan rujukan oleh para peneliti lain. Geertz dan para pengikutnya lebih banyak menggunakan pendekatan dikotomis yang sangat mempertentangkan Islam modern dan tradisional, dan hanya menghasilkan gambaran permukaan serta sangat tidak adil terhadap substansi aktual Islam di Jawa (h. 7).

Hasil penelitian Geertz ini ditentang oleh sarjana Jepang, Mitsuo Nakamura, dan oleh setidaknya dua orang ahli antropologi Amerika, Robert W. Hefner dan Mark R. Woodward. Geertz, menurut para pengkritiknya, mengidentifikasi Islam hanya dengan sumber – sumber dan pendekatan yang digunakan kaum modernis, dan mengasosiasikan segala sesuatunya dengan latar belakang Aborigin atau Hindu-Budha. Dia meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab tentang mengapa kemenangan Islam begitu meyakinkan. Lebih dari itu, Geertz gagal dalam menilai supremasi Islam dalam kultur Jawa, dan tidak memandang Islam di Jawa sebagai tradisi Muslim yang besar.

Diponegoro (1785 – 1855) adalah sebuah simbol mujahidin (pejuang) Jawa dalam perjuangannya melawan kolonial Belanda. Dia dipandang sebagai pejuang nasional pertama yang mampu membangkitkan dan menyatukan rakyat Indonesia untuk menggunakan kekuatan sendiri. Revolusi serupa namun bersifat reaksi lokal melawan kaum kolonial dilancarkan oleh gerakan tarekat Naqsabandiyah pada tahun 1888.

Signifikansi pandangan Islam terhadap ilmu secara sosial, budaya, dan ideologis, khususnya menjelaskan bagaimana ajaran-ajaran Islam di tangan para ulama yang brilian pada abad XIX dan awal abad XX M. telah memainkan peran sentral dalam pengalaman keagamaan bagi hampir seluruh muslim Jawa. Abad XIX M. merupakan sebuah periode transisi maupun transformasi yang tidak bisa disangsikan lagi telah terjadi jaringan langsung yang berkembang sedemikian luas antara ulama Jawa dan Timur Tengah. Bahkan sudah dimulai sejak abad XVII dan seterusnya jaringan sarjana atau ulama yang berskala internasional berpusat di Mekah dan Madinah, yang secara bertahap menunjukkan suatu peran signifikan dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan Islam di Nusantara melalui para pelajar dari Malaka-Indonesia.

Dengan menggunakan pendekatan socio-cultural history dan memfokuskan pada aktivitas-aktivitas penyebarluasan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim Jawa, dengan penekanan pada kiai sebagai pembaru sosial keagamaan, penelitian Abdurrahman Mas'ud ini memberikan kontribusi pada gambaran yang lebih luas tentang ulama Jawa melalui kehidupan sosio-kultural dan pendidikan mereka.

Penelitian dalam buku ini mempertegas bahwa pesantren dengan seluruh aspek dan perangkat yang dimilikinya merupakan merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang masin mengadopsi dan mengapresiasi budaya dan tradisi original bangsa Indonesia.

Diantara penelitian tentang pesantren adalah yang dilakukan oleh Zamkhsyari Dhofier (1980).iii Dhofier menggunakan pendekatan antropologis dalam menerangkan dan menganalisa obyek studinya. Karena muatan pembahasan keagamaan cukup intens, Prof. Michael Morony dari UCLA memberi komentar bahwa karya Dhofier juga layak dimasukkan dalam wilayah studi keislaman (Islamic Sudies). Karya Dhofier ini cukup komprehensif dan bisa dijadikan referensi utama untuk memahami elemen – elemen pesentren dan kehidupan sosio-religius para pemimpin pesantren tetapi ia lebih banyak membahas perkembangan pesantren kontemporer tahun 1970-an, sedangkan akar tradisi pesantren, serta pemikiran – pemikiran para pelopor pendahulu pesantren berada di luar lingkup pembahasannya (h. 1-2).

Penelitian lain tentang pesantren juga dilakukan oleh sarjana Jerman Alois Moosmuller dengan pendekatan historis dalam karyanya Die Pesantren auf Java (Frankfrut, 1989). Juga koleksi tentang masalah kontemporer dunia pesantren dapat ditemukan dalam karya Manfred Oepen and Karcher Wolfgang dengan judul The Impact of Pesantren in Educational and Community Development in Indonesia (Jakarta, 1988) dan Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta, 1985).

Jika Bruinessen memfokuskan studinya pada perkembangan sejarah tarekat di Nusantara, bukan hanya di Jawa, serta klasifikasi kitab kuning tanpa menyentuh isi pesannya, maka Abdurrahman Mas'ud dalam Intektual Pesantren ini berusaha menunjukkan pengenalan umum serta tema – tema utama kitab yang ditulis oleh para ulama Jawa. Lebih dari itu, tujuan utama studinya adalah mengungkap kehidupan sosio-keagamaan para ulama yang sangat berpengaruh di Jawa, peran mereka dalam masyarakat, dan pandangan akademis keagamaan mereka secara tematis dalam masyarakat.

Teori Weber tentang kharisma ini merupakan alat yang berguna untuk menunjukkan kharisma yang melekat pada para kiai Jawa dan untuk menawarkan nuansa yang lebih luas dalam memandang karakteristik pemimpin, pengaruh kharisma mereka, dasar-dasar dan ketidakstabilan, sifat revolusioner, dan asal usul serta transformasi kewibawaan kharismatik. Tidak diragukan lagi, komponen-komponen ini sangat membantu untuk menunjukkan kompleksitas elemen-elemen Jawa dengan fokus pada para pemimpin Muslim dan kehidupan sosial mereka sehari-hari, serta pokok ajaran mereka (h. 27).

Selain teori Max Weber tentang kharisma juga dalam beberapa bagian riset ini menggunakan prinsip-prinsip Durkheim tentang sosiologi pendidikan. Tetapi dalam hal ini, peneliti tidak begitu saja menggunakan teori-teori ini secara keseluruhan tanpa disertai kecermatan observasi dan analisa yang bisa mengakibatkan irrational appeal atau taklid buta.

Sebagai peneliti dan partisan, Abdurrahman Mas'ud memperoleh kesempatan lebih besar dalam berhubungan dengan keunikan penyebaran ilmu pengetahuan seperti hubungan personal yang demikian dekat antara para guru dan murid. Latar belakang peneliti (Islamic Studies), keakraban dengan wilayah, obyek studi, fungsi aktual dan sifat lembaga-lembaga keagamaan, serta pengetahuannya terhadap perspektif teoritik sudah barang tentu sangat berharga dalam penyelesaian tulisan ini.

Studi ini akan menerangkan dan menganalisa lima ulama penting yang diasumsikan sangat berpengaruh dalam dunia pesantren. Mereka adalah tokoh ensiklopedis dan multidisiplin ilmu, Nawawi al-Bantani (meninggal 1897), spesialis hadits Mahfudz Tremas atau at-Tirmisi (meninggal 1919) yang biasa dijuluki al-Muhaddits dan al-Musnid, kiai yang paling kharismatik spiritualis Khalil Bangkalan (meninggal 1924), KHR. Asnawi Kudus (1861-1959), seorang kiai-dai keliling yang mempunyai kemampuan bahasa yang retorik dan efektif dan KH. Hasyim Asy'ari, sang kiai pergerakan, inspirator nasionalisme di dunia pesantren.

Kelompok pertama (al-Bantani dan at-Tirmisi) ditandai dengan karya-karya produktif mereka, dan status istimewa mereka sebagai Imam al-Haramain di Timur Tengah. Karya-karya mereka semua dalam bahasa Arab tidak hanya dipelajari oleh para santri Jawa saja, tetapi juga oleh Muslim di berbagai penjuru dunia. Warisan utama mereka pada dunia pesantren terletak pada keihklasan dan dedikasi mereka di Makah dan Madinah untuk mentransfer pengetahuan mereka dan mendidik para pendiri pesantren yang masyhur.

Sedangkan kelompok kedua (Khalil Bangkalan, KHR. Asnawi Kudus, dan KH. Hasyim Asy'ari) dikenal sebagai ahli strategi dunia pesantren dengan telah mendirikan lembaga-lembaga pesantren di Jawa, Sunda dan Madura setelah mereka menyelesaikan pendidikan mereka di Hijaz. Keterlibatan mereka secara langsung di dunia pesantren menjadikan diri mereka sebagai tokoh yang sangat dihormati dan dikagumi dan model utama bagi para pemimpin pesantren. Lebih jauh, mereka merupakam mastermind yang berhasil melembagakan masyarakat santri dalam skala nasional dengan pengaruh dan rekayasa mereka mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama (NU) yang didirikan di Jawa Timur pada tahun 1926.

Abdurahman dalam penelitian ini berupaya untuk menjelaskan ajaran muslim Jawa dan jaringan ulama mereka melalui perspektif sosio-historis, kultural, dan ideologis. Dalam studi ini kata 'ulama' hanya diwakili oleh lima ulama yang sangat berpengaruh dalam dunia pesantren yaitu Nawawi al-Bantani (w. 1897), Mahfuz Tremas atau at-Tirmisi (w. 1919), KH. Ahmad Khalil Bangkalan, KHR. Asnawi Kudus (w. 1959) dan KH. Hasyim Asy'ari (w. 1947).

Dasar pemilihan dari lima ulama tersebut karena paling tidak mereka mewakili tiga entitas: Jawa, Sunda, dan Madura. Bukan hanya mewakili Jawa Timur saja, tetapi juga Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kriteria lain adalah karena kadar pengaruh mereka yang membentang luas melampaui masa mereka hidup hingga hari ini atau dalam istilah asing disebut enduring legacy. Demikian pula kedalaman ilmu mereka yang telah disaksikan oleh murid-murid mereka atau oleh komunitas santri secara luas dengan bukti kitab-kitabnya, peran sosio-religius mereka yang demikian penting hingga para santri memandang mereka sebagai pahlawan-pahlawan utama. Penggunaan metode ini merupakan upaya untuk memahami bagaimana dunia santri melihat dan membaca sejarahnya. Dengan demikian studi ini bisa disebut a view from within (melihat dari dalam) (h. 5).

Sumbangan Dalam Keilmuan Islam

a. Pemahaman Tentang Konsep Ilmu dan pencariannya

Menyoroti asal usul pendidikan Islam haruslah disertai dengan pemahaman tentang motivasi yang melekat pada proses belajar yang dilakukan kaum Muslimin sepanjang sejarah dengan penekanan pada periode awal. Terdapat kaitan erat antara aktivitas belajar dan motivasi utamanya, karena Islam merupakan agama yang menempatkan ilmu pengetahuan pada status yang sangat istimewa. Allah akan meninggikan derajat mereka yang beriman di antara kaum Muslimin dan mereka yang berilmu (QS,58: 11) (h. 5). Merupakan bukti signifikan bahwa wahyu pertama yang diterima oleh Nabi saw. dimulai dengan perintah ilahiah, yaitu "bacalah" (iqra') (QS,96: 1-5). Ayat berikutnya menegaskan bahwa dengan pena (al-qalam) Allah mengajar manusia mengenai bagaimana dan apa yang belum diketahui. Ayat ini menunjukkan arti penting membaca sebagai suatu aktivitas intelektual dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam, dalam proses belajar mengajar secara luas. Wahyu Nabi adalah pembebasan dan pencerdasan umat: liberating dan civilizing. Ajaran iqra' adalah suatu seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan moral-intelektual dan membawanya pada peradaban tinggi di bawah petunjuk Ilahi.

Bagi kebanyakan kaum Muslimin Al-Qur'an itu sendiri tidak hanya merupakan buku panduan atau petunjuk, tetapi juga sebuah seruan mencari ilmu pengetahuan. Kata ya'qilun dan ya'lamun yang berarti memikirkan dan memiliki ilmu pengetahuan misalnya, demikian banyak terdapat di dalam Al-Qur'an. Kata 'aql dalam berbagai bentuknya bisa ditemukan paling tidak 49 kali di dalam Al-Qur'an, sementara 'ilm lebih dari 450 kali. Perhitungan ini didasarkan atas variasi akar kata dari keduanya, dan bagaimanapun juga semuanya berasal dari dua akar kata tersebut (h. 31-33).

Dalam Islam, mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai daripada mereka yang beribadah sepanjang waktu. Kelebihan ahli ilmu (al-'alim) dibanding dengan ahli ibadah (al-'abid) adalah seperti kelebihan Muhammad atas seorang Muslim yang paling lemah. Di kalangan kaum Muslim, hadits ini demikian populer hingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah. Nilai keutamaan dari pengetahuan berikut penyebarannya tidak pernah diragukan. Nabi menjamin bahwa yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberi banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi rihlah (mengembara). Tradisi utama yang disebut dengan ar-rihlah fi thalab al-ilmi (pengembaraan dalam rangka mencari ilmu) atau dalam istilah modern disebut the spirit of inquiry merupakan bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan di kalangan para ulama. Bagaimanapun rihlah tidak pernah bisa dipisahkan dari framework tulisan ini, yakni mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai religius.

b. Pentingnya Modeling (uswatun hasanah)

Dalam ajaran Islam, modeling lebih diidentikkan dengan “uswatun hasanah” yakni contoh ideal dan juga kiblat kaum muslimin pada saat ini. Modeling ini difokuskan kepada orang-orang tertentu yaitu Nabi dan Walisongo. Keduanya merupakan contoh ideal dan juga kiblat kaum Muslim di Jawa. Bagi komunitas pesantren minimal ada dua model yaitu: Muhammad yang diadulat sebagai model universal dan walisongo yang dilabeli model domestik.

Secara singkat, dari deskriptif normatif-historis bahwa Muhammad telah mengedepankan keteladanan dalam beberapa hal. Sebagai pendidik, nabi tidak membedakan antara kaum laki-laki dan perempuan. Keduanya diharuskan memperoleh ilmu. Nabi sungguh telah mampu memberdayakan serta membebaskan kaum perempuan melalui pendidikan yang tidak diskriminatif. Nabi juga telah mengangkat kemiskinan melawan para konglomerat yang menindas dengan menekankan tanggung jawab si kaya serta menyuarakan hak-hak si miskin melalui perintah wajib zakat bagi orang-orang kaya dan menjelaskan hak-hak orang miskin.

Modeling yang kedua, dapat ditelaah melalui upaya Islamisasi di tanah Jawa oleh Walisongo. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa pada abad XV-XVI. Metode yang ditempuh oleh para Wali yaitu dengan mengkombinasikan aspek-aspek kultural dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Pendidikan Islam yang dipelopori oleh mereka ditempuh dengan cara sederhana, yaitu dengan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi lokal dan mudah ditangkap oleh komunitas masyarakat awam.

Pendekatan dan kebijakan Walisongo agaknya terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling, keagungan Muhammad saw. serta kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para aulia dan kiai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Pola hidup saleh, modeling dengan mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal adalah ciri utama kamunitas santri.

c. Pengetahuan Tentang Pesantren dan Tradisinya

Nawawi al-Bantani lahir tahun 1813 M di Banten Jawa Barat, yang selanjutnya dikenal sebagai sosok ulama yang mengenyam pendidikan di Makkah dan sekaligus diberi gelar haramain. Dalam pandangan kolonial Nawawi dianggap sebagai sosok yang sangat berbahaya oleh pemerintah Belanda, karena pengaruhnya terhadap jamaah haji Indonesia dan juga keyakinan para penguasa bahwa dia mampu mengilhami mereka yang melakukan pemberontakan. Nawawi telah menulis paling tidak sembilan bidang ilmu pengetahuan : tafsir, fiqih, ushul ad-Din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa Arab, Hadis dan akhlak. Jumlah karyanya sebagaimana ditunjukkan oleh banyak penulis, lebih dari 100, meskipun Bruinessen hanya berhasil mengoleksi 27 buah. Karya-karya Nawawi lebih banyak menggunakan anekdot dan cerita pavorit dari kasus-kasus yang terjadi abad pertengahan. Melalui kisah inilah santri Jawa sangat mudah untuk diyakinkan dan memiliki kesan yang sangat mendalam.

Ulama lain yang tidak kalah pengaruhnya dari Nawawi adalah Mahfudz Termas. Dia dilahirkan di Tremas Pacitan Jawa Timur pada tahun 1868 M. Pesantren di Tremas berusia lebih tua dan lebih prestisius dari pada pesantren Nawawi Banten. Mahfudz adalah seorang penulis yang sangat produktif. Sedemikian produktifnya, sebagai contoh, dia menyelesaikan karya dalam bidang ilmu Hadis dalam waktu 4 bulan 14 hari. Kitab dengan 302 halaman ini sebagian besar dikerjakan di Makkah dan sebagiannya dia tulis ketika berada di Mina dan Arafah pada saat dia menunaikan ibadah haji.

Termasuk dalam ulama ahli strategi pesantren adalah Muhammad Khalil yang lahir di Bangkalan Madura pada tahun 1235 H (1819 M). Dhofier melaporkan bahwa Khalil lulusan Hijaz yang berhasil memadukan antara sufiesme di bawah bimbingan Syaikh Karim dan fiqih di bawah arahan sarjana semasanya, Mahfudz at-Tirmisi, meskipun Khalil tidak bisa disepadankan dengan keduanya.

Selain Khalil, juga KHR. Asnawi yang lahir di Damaran belakang Menara Kudus pada tahun 1281 H (1864 M). Dia diklaim sebagai peletak dasar sunnisme melawan isu-isu modernisme. Meskipun tidak punya banyak karya, namun beberapa kitabnya sangat signifikan dan populer di tanah Jawa.

Ulama yang terakhir adalah KH. Hasyim Asy'ari, yang lahir di Gedang Jombang, Jawa Timur pada tahun 1871 M. Dia digelari dengan ahli strategi karena mampu mempertahankan idealisme untuk membangun lembaga pendidikan di tengah kritik dan tertawaan orang. Hal ini karena lokasi pendidikan yang akan dibangun, adalah merupakan tempat pelacuran dan perjudian.iv Kontribusi lain dari Hasyim Asy'ari adalah pemikiran dan kedaulatan bangsa adalah fatwa yang dikenal dengan resolusi jihad yang dikeluarkan pada bulan Oktober 1945. Fatwa ini telah mengilhami para santri dalam meningkatkan perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Kesimpulan

Upaya untuk menggambarkan lima figur utama komunitas pesantren dengan memperkenalkan riwayat hidup mereka termasuk latar belakang historis, peran sosio-religius dalam masyarakat, dan visi-visi religio-intelektual bersamaan dengan pemikiran-pemikiran tematik mereka telah dibahas secara intensif dalam penelitian ini.

Penelitian dalam buku ini telah membuktikan bahwa seperti halnya kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, kaum Muslim Jawa yang diwakili oleh santri percaya bahwa wilayah-wilayah sosio-kultural dalam berbagai manifestasinya harus selalu menjadi tersubordinasi dari inti ajaran Islam.

Pesantren dan kearifan Walisongo pada masa berikutnya diikuti dan dilembagakan dalam intisari pesantren dengan rangkaian kesatuan historis dan ideologis mereka. Kontinuitas ini tercermin dalam hubungan filosofis dan religius antara taqlid dan modeling di dalam komunitas ini. Melalui ajaran ini, kebesaran Muhammad dan kharisma Walisongo, yang diperankan oleh para wali dan kiai, sangat dihormati dari masa ke masa. Ide "pemeliharaan kultural" yang berkembang di dalam komunitas santri, terbukti diabaikan oleh para ilmuwan. Ajaran ini yang merupakan salah satu dari keistimewaan kultur pesantren dan agama, biasanya diabaikan oleh para sarjana yang gagal menggunakan sumber-sumber utama yang ditulis dalam bahasa Arab maupun Jawa oleh komunitas pesantren. Di mana ulama, sebagai agents of change, difahami secara luas telah melanjutkan tradisi Walisongo untuk menerapkan dan memberikan perhatian lebih terhadap substansi ajaran Islam, yang telah diformulasikan dan diperkuat oleh salaf ash-shalih, ulama terpercaya pada masa klasik melalui kitab kuning mereka, daripada disibukkan dengan problem-problem permukaan seperti bid'ah dan sebagainya.

Akan tetapi ada kritik yang dapat diberikan dalam penelitian ini antara lain sebagai peneliti dan sekaligus santri, penulis tidak berani melakukan kritik secara keilmuan akademik maupun ideologis mereka. Sehingga kita kita tidak bersikap kritis untuk menilai sejauh mana pemikiran para ulama tersebut memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan dan sosial, dan sejauh mana tingkat pemikiran mereka, sehingga diperlukan sumbangan-sumbangan pemikiran baru oleh para generasi penerusnya masa kini.



Pustaka Acuan

ii Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, hlm. 138.

iii Tulisan Dhofier merupakan Disertasi yang ditulis pada tahun 1980 dalam bahasa Inggris dengan judul Kinship and Marriage Among the Javanese Kiai, yang dipersembahkan pada the Department of Anthropology and Siciology, Australian National University, Canberra.

iv Sholichin Salam, KH. Hasyim Asy'ari, Ulama Besar Indonesia (Jakarta: 1963), hal. 31.